Lampung Darurat Keadilan Sosial: Jalan Umum Rusak, Nyawa Melayang, Negara Kemana?
LAMPUNG,TELISIK.NEWS
Generasi Milenial Peduli Akses Lampung (GEMPAL) Sudah bertahun-tahun masyarakat Lampung hidup berdampingan dengan lalu lalang truk angkutan batubara yang melintasi jalan-jalan negara di provinsi ini. Sayangnya, yang dihadirkan bukanlah manfaat, melainkan kecemasan, kerusakan, dan korban jiwa.
Kondisi ini menimbulkan satu pertanyaan mendasar: “Harus ke mana lagi kami mengadu?”
Pertanyaan ini kerap muncul dari warga yang lelah dengan situasi yang tak kunjung berubah, Truk Batubara: Ancaman Nyata di Jalan Umum
Di banyak titik jalan nasional dan provinsi di Lampung, truk batubara melintas hampir 24 jam tanpa henti. Padahal, berdasarkan aturan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan angkutan barang wajib mematuhi ketentuan daya angkut, waktu operasional, serta rute yang telah ditetapkan. Kenyataannya, banyak dari truk ini:
Melebihi batas tonase (over dimension over loading/ODOL),
Melanggar jam operasional,
Menyebabkan kemacetan dan kecelakaan,
Merusak jalan yang bukan jalur khusus tambang.
Truk-truk pengangkut batubara dengan kapasitas muatan yang sering kali melebihi batas wajar telah menyebabkan jalanan provinsi—khususnya jalur lintas tengah dan barat—menjadi rusak parah. Aspal berlubang, bergelombang, bahkan ambles di beberapa titik. Kerusakan ini bukan hanya merugikan pengguna jalan umum, tapi juga membahayakan nyawa mereka.
Belum lagi, kelelahan dan kelalaian sopir truk akibat jam kerja panjang dan kurangnya pengawasan turut menjadi pemicu berbagai kecelakaan fatal. Tidak sedikit nyawa melayang karena tabrakan dengan truk-truk besar yang kehilangan kendali. Ini bukan lagi insiden lalu lintas biasa—ini adalah krisis keselamatan publik.
*Negara Tidak Boleh Abai*
Dalam konstitusi dan undang-undang, negara berkewajiban melindungi setiap warga negara tanpa terkecuali. Keselamatan satu jiwa pun seharusnya menjadi prioritas, apalagi jika ancaman itu datang dari aktivitas usaha yang jelas-jelas melanggar aturan.
Namun yang terjadi, masyarakat justru merasa negara dan aparat penegak hukum acuh. Seolah-olah ada pembiaran terhadap pelanggaran berat yang dilakukan oleh pelaku usaha batubara. Jalan negara yang seharusnya digunakan secara adil dan aman, kini seakan menjadi milik pengusaha, sementara masyarakat hanya menjadi korban.
“Pengusaha makan nangkanya, masyarakat kena getahnya.”
Pepatah itu terasa nyata di Lampung hari ini.
Gubernur Harus Bertindak!
Sebagai pemimpin tertinggi di provinsi ini, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal tidak bisa tinggal diam.
Gubernur Mirza harus menjawab keresahan masyarakat:
Tinjau kembali kebijakan pemutihan pajak agar tidak menjadi subsidi terselubung untuk pelaku perusakan jalan.
Buat regulasi khusus agar kendaraan niaga ber-tonase besar tidak serta-merta menikmati pemutihan tanpa verifikasi dampak lingkungannya.
Instruksikan aparat terkait untuk menindak tegas pelanggaran angkutan batubara dan menertibkan operasionalnya sesuai jalur dan waktu yang diizinkan.
Perintahkan audit kondisi jalan dan tanggung jawab kerusakan agar ada keadilan bagi masyarakat pengguna jalan umum.
Kami percaya, pembangunan harus berpihak pada rakyat. Kebijakan fiskal harus adil. Pemerintah tidak boleh berdiri di sisi pengusaha yang merusak, tapi harus hadir membela rakyat yang menjadi korban.
Kami Akan Terus Bersuara
Lampung bukan milik pengusaha. Jalan raya bukan jalur logistik pribadi.
Masyarakat Lampung adalah pemilik sah dari ruang hidup yang aman, nyaman, dan adil.
Kami punya hak untuk hidup aman, nyaman, dan adil.
Kami tidak anti-investasi. Kami tidak anti-pembangunan. Tapi kami menolak pembangunan yang menindas, dan investasi yang melukai.
Lampung punya masyarakat, masyarakat punya hak, kami akan memperjuangkan hak kami.
Hidup masyarakat Lampung!
Hidup keadilan sosial!
Posting Komentar